“Sesudah menonton film ini, saya bangga menjadi orang Indonesia”.
Kalimat itu diucapkan oleh dua penonton berbeda sesudah menonton dua film berbeda di tahun 2007 lalu. Mereka menyatakannya sesudah menonton film Nagabonar Jadi 2 (Deddy Mizwar) dan Kala (Joko Anwar). Kedua film itu menghasilkan reaksi serupa. Kenapa? Lebih menggelitik lagi, memang adakah “Indonesia” dalam kedua film tersebut?
Mencari sebuah kolektivitas bernama negara bangsa dalam sebuah film seharusnya bukan merupakan proses yang kelewat rumit. Beberapa akademisi dan kritikus memang menggunakan pendekatan faktual yang menyatakan bahwa apa yang ada di layar itulah sesungguhnya wajah kita. Layar hanya cermin saja bagi apa yang sebenarnya menjadi impian dan idealisasi kita (secara sadar ataupun tidak).
Pendekatan lain menghindar cara berpikir demikian. Mengidentikkan gambaran di layar dengan diri sendiri berarti tunduk pada selera massa yang mudah dikendalikan oleh rangsangan instan terhadap impuls manusia. Film sebagai media yang larger-than-life selalu punya perangkat paling lengkap dan efektif dalam mengendalikan impuls itu. Maka penyerupaan layar film dengan wajah kita adalah sebuah misrepresentasi yang berbahaya, karena di dalamnya terkandung penghindaran terhadap soal-soal yang berada di luar jangkauan impuls yang instan itu. Perenungan dan kompleksitas serta penghadiran dimensi kerap ditundukkan di bawah kepentingan mencari keuntungan saja.
Wajah kolektif sebuah bangsa dan masyarakat sedikit banyaknya memang tetap tercermin dalam film. Siegfried Kracauer ketika membahas film Jerman pra-Hitler: ia melihat bahwa film sebagai usaha kreatif kolektif pastilah menghadirkan gambaran kehidupan kolektif juga. Interaksi antarawak pembuat film adalah interaksi kreatif yang akhirnya akan membuat gambaran yang tampil di layar merupakan hasil kerja kolektif. Pendekatan ini juga tak memuaskan, mengingat peran pengambil keputusan yang tak imbang antara satu posisi pekerja film dengan lainnya.
Namun aspek kolektivitas pada film tetap merupakan sesuatu yang penting mengingat kemampuan film menghadirkan interaksi sosial baik di layar maupun dalam proses di balik layar. Berangkat dari interaksi sosial di layar, abstraksi terhadap kehidupan kolektif akan terjadi. Hubungan-hubungan simbolis bermunculan dan perasaan tentang sebuah “komunitas yang terbayangkan” disimpulkan secara post-factum. Maka gambar dan suara yang membawa gagasan dalam sebuah film berubah menjadi simbol dan tanda yang bicara karena keberadaan kontrak tak tertulis antara pembuat film dengan penonton. Kontrak tak tertulis itu bernama konteks (yang pasti berbeda antara satu penonton dan lainnya) yang selalu membatasi pembacaan bagi gambar dan suara yang ada di film.
Simbol itu tak serta merta muncul, ternyata. Pada beberapa film, gambar dan suara yang ada di layar tak mampu membangkitkan perasaan kolektif tentang satu komunitas utuh dan solid yang “terbayangkan” yang bernama “Indonesia”. Nagabonar Jadi 2 dan Kala memicu bayangan itu tentu karena mereka berhasil menghadirkan hal-hal yang dirasakan menjadi agenda bagi sebagian penonton yang mengeluarkan komentar di atas tadi. Mari kita lihat bagaimana hal itu terjadi.
Nagabonar yang Romantis
Nagabonar datang dari Lubukpakam, kota kecil yang berbatasan dengan kota Medan. Ia berlatarbelakang seorang bekas pejuang kemerdekaan yang kini menjadi pengusaha kebun kelapa sawit. Ia pergi ke Jakarta untuk sebuah urusan bisnis yang melibatkan anaknya sendiri, Bonaga. Sesampai di Jakarta, Nagabonar harus menemukan kenyataan kehidupan Indonesia kontemporer yang urban dan kosmopolit ternyata sama sekali berbeda dari Indonesia yang dibayangkannya. Nagabonar kehilangan orientasi dan bingung. Ia tak mampu memahami Indonesia yang ia perjuangkan dengan taruhan nyawa dahulu.
Dengan menggunakan tokoh ini, Deddy Mizwar mengajukan berbagai dikotomi yang hidup berdampingan pada Indonesia kontemporer. Nagabonar kemudian membawa simbol-simbol ke-Indonesiaan yang dikenalnya ke sebuah Indonesia baru, Indonesia yang modern (atau post-modern?), urban, terbuka untuk modal asing, akrab dengan teknologi dan penuh gairah.
Dalam film ini, Nagabonar menjadi tokoh di pinggiran yang dengan asing mengamati Indonesia baru baginya itu. Ia melihat hilangnya nilai-nilai ke-Indonesiaan yang ia ketahui. Maka ia menilai bahwa ke-Indonesiaan harus dikembalikan (paling tidak bagi dirinya sendiri) dengan memaksakan diri menghormat kepada bendera merah putih pada saat upacara bendera atau menurunkan tangan patung Jendral Soedirman yang menghormat pada kendaraan roda empat atau nyekar ke makam prajurit tak dikenal.
Di sini Nagabonar berhasil menyajikan sebuah gambaran jujur satu generasi yang merasa rindu pada ungkapan-ungkapan ke-Indonesiaan yang melandaskan diri pada mitos-mitos yang sudah ada, mudah dikenali dan diproduksi-ulang guna mendaku identitas Indonesia dalam konteks negara bangsa. Karena membawa pandangan masa lalu ini, maka Nagabonar terasa anakronistik.
Selain itu ia menjadi tidak kritis terhadap mitos yang dikembangkan pada masa Orde Baru sebagai alat manipulasi dan mobilisasi politik. Nagabonar ikut mewakili gambaran pemujaan terhadap militerisme yang diidentikkan dengan nasionalisme. Ini adalah sebuah mitos yang digunakan Orde Baru untuk melestarikan kekuasaan. Negara Indonesia dalam pandangan Nagabonar tahun 2007 ini dihasilkan lewat perjuangan bersenjata yang cenderung mewakili pandangan militeristik yang menurut Doktor ilmu politik Salim Said dalam disertasinya, The Genesis of Power, menjadi asal muasal pembenaran bagi dwifungsi ABRI yang problematis itu.
Pandangan terakhir ini adalah perpanjangan dari mitos-mitos perjuangan kemerdekaan sebagai sebuah keberhasilan mobilisasi rakyat ke dalam perjuangan bersenjata yang menjadi dasar berdirinya TNI. Hal inilah yang dalam politik praktis diwujudkan dalam doktrin yang melandasi lahirnya dwi-fungsi pada masa Orde Baru yang tak memisahkan antara yang militer dan bukan militer; sekaligus mensubordinasi penggambaran perjuangan non-militer dalam sejarah-sejarah formal seperti yang digambarkan dalam film-film tentang periode kolonial yang diproduksi oleh lembaga negara seperti PFN.
Agaknya pandangan Deddy Mizwar ini mewakili kerinduan terhadap ke-Indonesia-an yang ajeg dan bisa diwariskan, sebagaimana halnya gambaran mengenai Indonesia pada masa Orde Baru. Indonesia adalah sesuatu yang tak perlu dipertanyakan kesatuan ruang dan gagasannya. Ia sudah selesai. Maka pewarisan kepada generasi baru sangat penting agar nilai-nilai lama mengenai Indonesia bisa terus bertahan.
Namun Nagabonar dalam Nagabonar akhirnya putus asa. Ia memilih untuk menyerah dan menyatakan bahwa penilaiannya memang anakronistik. Ia mengaku bahwa ia tak mampu memahami Indonesia yang baru ini sehingga tak mungkin baginya mewariskan gambaran Indonesia lama itu kepada generasi baru ini. Ia menyerahkannya pada anakya.
Hanya sayangnya, pewaris itu, Bonaga dalam film ini, adalah semacam salinan-tak-sempurna (copycat) dari Nagabonar. Itulah kenapa film ini berjudul Nagabonar Jadi 2. Bahkan dalam urusan berpacaran sekalipun, Bonaga kalah dari sang ayah karena pacar Bonaga, Monita, lebih dulu mencium Nagabonar, padahal Monita belum pernah mencium Bonaga. Tampanya Deddy Mizwar bisa berlega hati menyerahkan “Indonesia” kepada Bonaga karena Bonaga menolak menyuap, tak merokok, anti main perempuan, sopan dan seterusnya. Selain itu, Bonaga pun kalah hebat dibandingkan dengan Nagabonar.
Metafora Kala
Jika Joko Anwar adalah semacam Bonaga (dari segi usia mungkin cocok), maka ia menyimpang jauh dari yang didefinisikan Nagabonar. Joko menentukan sendiri kanvas yang harus dilukisnya ketimbang meneruskan lukisan yang pernah dibuat Deddy Mizwar. Kala punya titik berangkat yang beda dengan Nagabonar. Kala adalah sebuah gambaran mengenai bercampurnya fakta dan mitos, kenyataan dan khayalan, medium dan pesan, kelangkaan dan kelimpahan, masa kini dan masa lalu, dan seluruhnya yang membentuk sebuah Indonesia yang obskur, yang tidak jelas dan jauh dari definitif.
Maka, simbol-simbol Indonesia seperti yang dibawa oleh Nagabonar sama sekali berada di luar pola pikir Kala. Kala bicara secara induktif tentang Indonesia dengan menggunakan perlambang dan umpama. Tak ada konsep-konsep yang sudah lebih dulu ada (dan karenanya bisa diwariskan) tentang Indonesia. Pada Kala, yang ada adalah fakta demi fakta yang dihadirkan terlalu jelas untuk tak disimpulkan sebagai Indonesia. Indonesia muncul sebagai sebuah kesimpulan dari kumpulan perlambang dan umpama yang dihadirkan oleh Joko Anwar sepanjang film itu semata-mata karena Joko tak bisa menghindar dari kenyataan bahwa ia dilahirkan di Indonesia.
Kala menjadi karya yang menarik karena ia sepenuhnya sadar akan bentuk. Hal ini bertolak belakang dengan Nagabonar yang sepenuhnya terfokus pada muatan dan terasa abai pada bentuk. Kala adalah pameran gaya dan bercampurnya gaya dan muatan yang ingin disampaikan. Kala dengan sadar membengkok-bengkokkan film yang dibuat dengan formula baku (biasa disebut film genre) dan mengungkapkannya dengan teknik sinematografi, editing, tata suara, tata musik, dan seluruh aspek teknis yang terasa betul ditujukan untuk mencapai kesempurnaan bentuk.
Itu semua bukan tanpa alasan. Bentuk sudah sama pentingnya dengan muatan pada generasi Joko Anwar. Keduanya tak terpisah dan kesadaran untuk bermain dengan bentuk adalah semacam pernyataan artistik sang kreator, dan Joko Anwar (jangan lupa bahwa ia bekas kritikus film –atau masih?) sadar betul dengan permainan bentuk semacam ini. Bentuk-bentuk yang dipermainkan oleh Joko bahkan lebih banyak (jika tak semua) adalah bentuk khazanah film dunia, ketimbang film Indonesia yang pernah populer. Maka, ketimbang mendaur ulang (dan membengkokkan) film-film Warkop Dono-Kasino-Indro atau Nyi Blorong atau Bing Slamet, Joko malahan membengkokkan formula dari genre noir, slasher movie dan sebagainya. Khazanah dunia tampak sama definitifnya dengan khazanah Indonesia, bagi Joko. Sumber menjadi non-faktor.
Dengan begitu, Indonesia yang diungkapkan secara metaforis ini, tampil arbitrer. Tak tampak usaha Joko untuk membuat filmnya menampilkan “Indonesia”. Properti, lokasi dan pencahayaan dalam Kala bisa terjadi di lokasi mana saja di dunia. Kala tak terlihat seperti Indonesia baik dalam tampilan visual maupun cara ucap. Joko hanya sadar bahwa ia berkarya di Indonesia, dan filmnya ditujukan (untuk menghibur) orang Indonesia dan ia tak bisa lepas dari kenyataan itu.
Namun pertanyaannya: kenapa Indonesia pada Kala harus berbentuk metafora? Pada Nagabonar, tentu saja Indonesia harus realis karena ia sedang ingin romantis; membayangkan sebuah masa lalu yang hilang. Tetapi mengapa Kala harus metaforis? Alasan pertama, tentu soal eksplorasi bentuk yang sangat nyaman dengan dengan cara tutur metaforis seperti itu. Namun bisa jadi ada alasan lain karena pada Kala, Joko sedang menawarkan sebuah gagasan yang terlalu sulit diungkapkan dengan telanjang. Ia sedang mengajukan pertanyaan: bagaimana apabila orang yang berhasil membawa bangsa ini keluar dari masalahnya adalah orang yang berbeda pendapat dengan kaum mayoritas? Mungkin secara lebih eksplisit: bagaimana apabila di negara mayoritas muslim yang sedang gencar menegakkan syariat Islam ini orang yang mampu menjadi penyelamat adalah seorang homoseksual?
Pertanyaan ini memang terlalu tajam untuk ditanyakan secara terbuka. Maka metafora, pasemon, adalah sebuah jalan keluar yang paling layak untuk itu. Namun apakah pasemon itu tertangkap? Simbolisme Joko terlalu rumit dan sumir sehingga ia terasa seperti tak terlalu mementingkan muatan itu. Jika ia benar-benar merasa bahwa muatannya harus sampai kepada penonton, tentu ia akan menggunakan metafora yang lebih mudah ditangkap penonton.
Di sinilah terasa bahwa Nagabonar dan Kala sama-sama gagal berurusan dengan ke-Indonesiaan yang sekarang, yang kontemporer. Nagabonar gagal karena ia tak mengenali lagi Indonesia kontemporer dan akhirnya menyerah kalah padanya. Ketika ia menatap Indonesia yang sekarang, ia berpaling ke nilai-nilai lama, karena itulah yang bisa ia kenal. Sedangkan Indonesia yang sekarang ia percayakan saja pada anaknya, yang ia yakini sudah ia didik sebaik yang ia bisa (sekalipun ia merasa gagal).
Pada Kala, bisa jadi Indonesia kontemporer mengandung resiko terlalu besar untuk dibicarakan terbuka. Sikap penghindaran untuk membicarakan soal itu secara terbuka adalah sebuah self-censorship –tapi, apa gunanya self-censorship semacam itu ketika muatan memang sangat penting untuk disampaikan? Atau soalnya bukan self-censorship, tapi memang Joko Anwar menghindar saja dari membicarakan Indonesia ataupun menempuh risiko karena ia memang sedang bersenang-senang dengan eksperimen bentuk?
Relevansi ke-Indonesia-an
Deddy Mizwar dan Joko Anwar, keduanya gagal menggambarkan atau memberi pemecahan baru bagi Indonesia kontemporer, sekalipun mereka bicara tentang Indonesia. Nagabonar lebih suka menoleh masa. Kala tak berani menatap masa kini dan beralih ke metafor. Keduanya memang berbicara tentang Indonesia, sengaja atau pun tidak.
Keduanya akhirnya punya nilai artikulatifnya sendiri pada khalayaknya masing-masing. Bukan sekadar sebagai hiburan, tapi juga sebagai pertanyaan besar kepada mereka tentang ke-Indonesiaan yang pernah mereka kenali atau ingin mereka pegang. Di satu sisi, ada kebutuhan akan romantisme mengenai ke-Indonesia-an. Di sisi lain, ada kebutuhan pendefinisian baru dari apa yang mereka lihat sehari-hari, tapi tak mampu untuk dinyatakan dengan jelas, apa sesungguhnya yang mereka lihat.
“Indonesia” dalam kedua film ini ada di kejauhan yang tak tertangkap. Kilasan itu menghasilkan kerinduan ketika pendefinisian Indonesia menjadi makin sulit dan makin tak terasa diurusi oleh siapa-siapa. Tiap orang harus mencari sarana pendefinisiannya sendiri yang bertaburan. Mungkin akhirnya orang harus memilih sesuatu yang paling dekat dan paling nyaman dengan diri mereka. Maka kedua orang penonton film itupun berkomentar: “sesudah menonton film ini, saya bangga menjadi orang Indonesia.”***
“Pasemon” adalah istilah yang dipopulerkan dalam kajian sastra Indonesia oleh Goenawan Mohamad. Pada mulanya, istilah ini dilontarkan Goenawan untuk menjelaskan estetikanya dalam sebuah pidato sambutan atas sebuah anugerah sastra yang ia terima. Pidato ini dikembangkan jadi sebuah esai panjang, dan dimuat dalam kumpulan esai Goenawan Mohamad, Sastra dan Kekuasaan. Kata “pasemon” sendiri diambil dari sebuah kata bahasa Jawa, yang kurang lebih menggambarkan sifat mengisyaratkan pada sesuatu, penyamaran, juga semacam sindiran. update
Film online Naga Bonar Jadi 2
Posted by
aBAH aBUN
Posted on
19.31
with
No comments
SELAMAT NONTON FILM ONLINE BERJUDUL Film online Naga Bonar Jadi 2 dan bila berkenan Anda bisa share FILM ONLINE ATAU TV ONLINE FILM BIOSKOP21 INI KE TEMAN KERABAT ANDA Film online Naga Bonar Jadi 2 ini dengan tombol share di bawah. Film online Naga Bonar Jadi 2TERIMAKASIH TELAH BER KUNJUNG DI BIOSKOP21Film online Naga Bonar Jadi 2
PESAN SARAN SILAHKAN TINGGALKAN KOMENTAR.
Label:
film bioskop
,
Film Drama
0 komentar :
Posting Komentar